Tag Archives: novel

Bukan Hanya Dalam Novel

Suatu malam saya membaca sebuah antologi dari para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) yang berjudul “Jendela Cinta”. Di dalam antologi ini saya terkesan dengan cerpen yang berjudul sama dengan judul antologi, yaitu “Jendela Cinta” yang ditulis oleh Fahri Asiza. Cerpen ini menceritakan tentang fenomena kehidupan sebuah rumah tangga yang awalnya harmonis kemudian hadir sebuah masalah yang menjadi pokok dari permasalahan-permasalahan selanjutnya hingga jadilah sebuah cerita yang menarik. Kisah dalam cerpen ini mungkin hanya sebuah karangan, namun tidak mustahil jika terjadi dalam kehidupan rumah tangga di sekitar kita, atau bahkan dalam rumah tangga kita (nanti, bagi yang belum berumah tangga).

Secara singkat isi cerpen tersebut sebagai berikut;

Ada sebuah rumah tangga yang terdiri atas suami, Samsul dan istri, Aminah. Rumah tangga ini mereka bangun atas janji untuk selalu hidup bersama, dalam suka maupun duka. Mereka hidup dalam kecukupan meski tidak berlebihan. Sang suami bekerja sebagai operator cetak sebuah perusahaan percetakan terkemuka. Awalnya kehidupan mereka normal, sehingga musibah menimpa tangan kiri Samsul dan mengharuskannya untuk diamputasi. Setelah itu kehidupan mereka menjadi sulit karena Samsul tidak lagi bisa bekerja di perusahaan tempat dia bekerja. Samsul mencoba untuk mencari pekerjaan lain, namun tidak ada lagi perusahaan yang mau menerima dia. Akhirnya Aminah memutuskan untuk bekerja meski awalnya sulit mendapat ijin dari Samsul karena merasa dialah yang seharusnya bertanggung jawab. Aminah bekerja pada sebuah pabrik konveksi, tapi tetap mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dalam mengurus suami. Sebagai seorang laki-laki Samsul memiliki harga diri yang sangat tinggi, dia merasa dialah yang seharusnya bekerja, bukan Aminah, meski Aminah ikhlas melakukan pekerjaannya dan tidak sedikitpun menuntut Samsul. Waktu berlalu, Samsul mulai berulah. Merasa kalah dengan keadaan, dia malah menyalahkan Aminah. Samsul tak lagi menjadi suami yang baik, dia menjadi benci kepada Aminah. Tiap hari kerjanya hanya mendzalimi Aminah. Namun Aminah adalah seorang wanita sejati, dia tetap setia pada Samsul. Semakin hari orderan perusahaan konveksi tempat Aminah bekerja semakin naik, hingga mengharuskan dia bekerja lebih lama, meski begitu dia tetap tidak melalaikan tugasnya sebagai istri. Setiap pulang kerja dia selalu membawa nasi bungkus untuknya dan Samsul. Tapi sikap Samsul semakin menjadi-jadi, dia malah menuduh Aminah berselingkuh selama bekerja. Makanan yang dibawa Aminah tidak disentuhnya, kecuali kalau sudah sangat lapar pada tengah malam. Semua ini dilakukan karena dia merasa harga dirinya kalah oleh Aminah. Samsul terus saja mendzalimi Aminah dan mulai mengakrabi minuman keras. Kakak Aminah menyarankannya untuk cerai, tapi Aminah tidak mau. Dia masih ingat janji mereka saat menikah. Dia masih menyimpan harapan suatu saat samsul mau berubah dan menjadi suami yang baik. Suatu malam Samsul pergi dari rumah setelah mencampakkan makanan yang dibawa Aminah serta menampar, menendang, dan memukul wajah Aminah. Pagi harinya kakak Aminah datang untuk membawanya pergi menghindar dan sekali lagi menyarankan Aminah untuk cerai. Setelah sampai di rumah kakaknya, Aminah minta kembali pulang karena memikirkan nasib Samsul; bagaimana keadaannya? siapa yang akan merawatnya? Sampai di rumah, dia tidak mendapati Samsul. Dia berfikir, mungkin Samsul butuh perhatian, lalu dia memutuskan untuk berhenti kerja dan membuka warung saja di depan rumah agar bisa sambil mengurus suami. Setelah beberapa hari menghilang, akhirnya Samsul kembali. Begitu mendengar suara pagar dibuka, Aminah langsung keluar dan menyambut Samsul dengan senyum dan pertanyaan, “Kemana saja selama ini, Mas? Bagaimana keadaanmu, Mas?” sambil meraih tangan kanannya dan menciumnya. Samsul tak kuasa menahan tangis, jika tidak ditahan Aminah, dia pasti sudah berlulut dihadapannya. Ternyata selama beberapa hari menghilang, dia menyesal. Dia takut pulang karena khawatir tidak lagi diterima oleh Aminah. Dan……………….cerita berakhir bahagia.

Demikianlah, kejadian seperti ini bukan tidak mungkin terjadi pada kehidupan nyata. Manusia itu mahluk yang dinamis, selalu berubah, dan perubahan itu tidak selalu ke arah yang lebih baik, tidak jarang menjadi lebih buruk atau sangat buruk. Jika dalam cerita berakhir dengan bahagia, mungkin dalam kehidupan nyata malah tidak pernah berakhir bahagia, na’udzubillah.

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah; hati-hatilah dalam memilih pasangan. Kenal selama bertahun-tahun bukanlah jaminan sifatnya sudah kita ketahui semua. Bergaul dengannya setiap saat pun belum tentu mencerminkan sifat dia sesungguhnya. Pacaran itu tidak ada gunanya, terlalu banyak topeng di dalamnya. Maksud saya, janganlah sombong sebagai manusia. Merasa paling pandai memilih, lalu melupakan Tuhan. Pilihlah seseorang karena Allah. Istikhorohkanlah dengan benar (shalat istikhorohlah untuk meminta petunjuk Allah) sebelum memilih, sebagai pengakuan bahwa kita tidak tahu apa-apa dan Allahlah yang Maha Tahu. Insyaalah, Dia yang akan menjamin siapa yang dipilihkan-Nya untuk kita. Pun jika nanti pilihan-Nya berulah, yakinlah Dia akan menolong kita.

Mungkin kurang meyakinkan jika cerita kehidupan rumah tangga ini dianalisis oleh seorang yang masih lajang, yang belum punya pengalaman dalam berumah tangga. Namun, bukankah pengalaman itu tidak harus pengalaman diri sendiri? Pengalaman itu bisa saja berasal dari orang-orang yang dekat dengan kehidupan kita, bukan? Dan saya memang belajar dari pengalaman yang serupa dengan kisah di atas dari orang-orang yang sangat dekat dengan kehidupan saya.

Teman-teman ada yang ingin menganalisis dari sudut lain?